Wednesday 13 January 2016

Menginterpretasi Fungsi Sosial Teks Cerita Fiksi dalam Novel

Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi dimana sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, kelahirannya di tengah-tengah masyarakat tiada luput dari pengaruh sosial, budaya dan psikologi. Sastra merupakan bentuk kegiatan kreatif dan produktif yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan relitas sosial kemasyarakatan.

Misalnya saja Andrea Hirata yang dilahirkan di sebuah desa yang termasuk desa miskin dan letaknya yang cukup terpelosok di pulau Belitong. Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Seperti yang diceritakannya dalam novel Laskar Pelangi, Andrea kecil bersekolah di sebuah sekolah yang kondisi bangunannya sangat mengenaskan dan hampir rubuh. Sekolah yang bernama SD Muhamadiyah tersebut diakui Andrea cukuplah memperihatinkan.
Pada novel Laskar pelangi banyak sekali unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat yang bertempat tinggal di Belitong. Adanya perbedaan status antara komunitas buruh tambang dan komunitas pengusaha yang dibatasi oleh tembok tinggi merupakan latar belakang sosial. Dimana interaksi antara kedua komunitas ini memang ada dan saling ketergantungan. Komunitas buruh tambang memerlukan uang untuk melanjutkan kehidupan, sedang komunitas pengusaha memerlukan tenaga para buruh tambang untuk menjalankan usaha mereka.
pengarang novel
Perhatikan penggalan cerita dari novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri berikut ini dengan saksama.
  1. Engkau tahu, aku lahir dan besar di sebuah kampung terisolir yang hingga kini masih seperti itu ketika aku meninggalkannya hampir tujuh tahun yang lalu (NSdI, 2004:18).
  2. Aku merasa, kehidupanku telah mati setelah kembali ke Rimbo Pematang, tak kudapati umi. Setelah abah hanyut dibawa Sungai Indragiri, aku hanya memiliki umi yang kutinggalkan hampir setahun di penjara (NSdI, 2004:62).
  3. Tahun 1986, inilah tahun terburuk dalam sejarah bencana di kampungnya. Dia baru tamat SD ketika itu dan umurnya baru 12 tahun. Meski masih bau ingus, tetapi dia ingat betul semua yang terjadi di kampungnya; panas terik sepanjang tahun, beras menjadi langka, pohon karet tak mengeluarkan getah karena tak tersiram air. Penduduk kampung itu akhirnya banyak yang mencari ubi dan talas ke kampung lain untuk sekadar mempertahankan hidup (NSdi, 2004:38).

Dari penggalan cerita di atas, dapat diketahui bahwa latar tempat yang digunakan pengarang dalam novelnya adalah sebuah kampung di dekat Sungai Indragiri. Seperti yang kalian ketahui, sungai tersebut berada di Provinsi Riau. Meskipun Desa Rimbo Pematang adalah daerah fiktif yang diangkat pengarang dalam ceritanya, tetapi penggambaran desa ini dapat mewakili gambaran kondisi beberapa daerah Indragiri Hulu, Provinsi Riau.

Dengan membaca kutipan yang ada di atas dapat digambarakan bahwa novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri secara jelas menyingkap kondisi sosial masyarakat Provinsi Riau dewasa ini. Dalam novel tersebut terdapat gambaran keterbelakangan dan kemiskinan yang ada di Provinsi Riau. Keadaan politik yang memburuk menyebabkan harga rupiah yang anjlok, sehingga harga karet dan kayu melambung tinggi. Hal ini menyebabkan PT Riau Maju Timber “merampas” hutan masyarakat Rimbo Pematang. Pendeskripsian latar tempat tersebut membuat pembaca mengetahui secara detail suasana kampung yang dilukiskan pengarang sehingga pembaca seolah-olah bisa turut merasakan suasana tersebut.

Perhatikan pula nukilan cerita dari novel Laskar Pelangi berikut ini dengan cermat.
  1. Tak disangsikan, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun, jika di-zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbung di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
  2. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
  3. Di luar tembok feodal itu berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Malayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang. (Laskar Pelangi, 2007:49—50)

Secara jelas telah diungkapkan pengarang dalam novel Laskar Pelangi bahwa kehidupan yang kontras terjadi pula di daerah Belitung. Provinsi Riau dan Belitung sebenarnya daerah kaya di republik ini, tetapi ternyata masih terdapat daerah miskin di sana. Lalu, bagaimana tanggapan kalian tentang kehidupan yang seperti ini?
Novel Laskar Pelangi mengangkat kisah kehidupan masyarakat Melayu Belitong yang miskin dan berada di bawah hegemoni pertambangan timah besar, PN Timah. Latar perkampungan Melayu yang diceritakan dalam novel ini adalah Gantong, desa pesisir yang hanya memiliki satu Sekolah Dasar berbasis Islam yang keadaannya sama memprihatinkan dengan kampungnya. Jarang ada orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di sana, bahkan sekolah itu akan ditutup apabila tidak bisa memenuhi kuota murid sepuluh orang.
Penggambaran dua sisi kehidupan yang berbeda dalam  novel ini begitu kontras, antara masyarakat miskin Melayu dan orang-orang Gedong yang mayoritas bukan Melayu (pendatang dari Jawa, dan sebagainya) sekaligus penguasa PN Timah. Keberadaan orang-orang Non-Melayu yang justru menguasai perekonomian di Belitong dengan perusahaan timah besar itu juga mencerminkan tingkat pendidikan dan kelas sosial mereka. Orang yang berpendidikan tinggi menguasai perekonomian dan memiliki kelas sosial tinggi pula. Orang yang tidak menguasai perekonomian dan produksi, dalam novel ini masyarakat Melayu Belitong, termasuk dalam kelas sosial rendah karena mereka tidak berpendidikan tinggi.
Mengutip tujuan nasional dari pembentukan pemerintahan adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kemerdekaan yang telah diraih harus dijaga dan diisi dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis.
Perhatikan nukilan berikut ini. Uraikan pendapat kalian tentang apa yang digambarkan pengarang pada kutipan itu.
  1. “Banyak anak usia sekolah di kampungku yang tidak sekolah, Fahmi. Aku berharap, beberapa tahun lagi di Rimbo Pematang sudah ada SMP dan SMA sehingga anak-anak di sana dan kampung terdekat tidak harus menyeberang sungai ke sini untuk sekolah... (NSdI, 2004:20).
  2. Dia mau pergi, mengejar dunia dan mimpi masa kanak-kanaknya: ada jalan beraspal dan jembatan yang mengeluarkan kampungnya dan juga kampung sekitarnya dari isolasi. Ada listrik yang menerangi sehingga kampungnya tidak gelap gulita di malam hari, karena hanya lampu teplok yang menyala. Dia juga ingin ada sekolah yang layak dan tidak hanya sebatas SD, agar anak-anak kampungnya tidak harus mengayuh perahu ke seberang ketika ingin berangkat sekolah ke SMP maupun SLTA. Hal inilah yang membuat banyak anak di kampungnya yang akhirnya memilih tidak sekolah dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti yang dilakukan orang dewasa di kampung ini; menakik getah, menjala ikan, dan turun ke sawah (NSdI, 2004:34).
  3. Seminggu hujan tak berhenti dan kampung itu benar-benar menjadi danau baru, mungkin juga puluan kampungl lainnya di sepanjang aliran sungai. Kalid juga masih ingat ketika itu, setelah air surut dan normal, kampung itu dilanda wabah kolera. Penyakit itu datang tidak hanya menyerang anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Banyak yang meninggal ketika itu, sekitar pertengahan tahun 1986, karena bantuan obat-obatan dan dokter dari kota terlambat. Transportasi yang susah membuat distribusi bantuan tersendat, ini belum lagi masalah birokrasi yang selalu menjadi penghambat penyaluran bantuan dalam bencana apapun (NSdI, 2004:51).

Apakah kalian setuju bahwa tingkat keterbelakangan suatu kaum dipengaruhi oleh faktor kemiskinan?
Sangat setuju karena kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya. Salah satu penyebab kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.

Kemiskinan merupakan masalah multidimensional di Indonesia. Padahal Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki kekayaan alam berlimpah. Kemiskinan ini tidak hanya ditandai oleh rendahnya pendapatan penduduk, tetapi juga digambarkan oleh rendahnya kualitas kesehatan dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Setujukah kalian dengan pernyataan ini?
Sangat setuju karena dilihat dari penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), Indonesia masih dikategorikan sebagai negara sedang berkembang. Ciri lain dari negara sedang berkembang adalah rendahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya tingkat kemajuan dan pelayanan fasilitas umum/publik, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, rendahnya tingkat keterampilan penduduk, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, dan rendahnya produktivitas tenaga kerja, serta lemahnya tingkat manajemen usaha.

No comments:

Post a Comment